Menerima
pendamping kita apa adanya dengan tidak berharap terlalu banyak, merupakan
bekal untuk mencapai kemesraan dalam rumah tangga dan kebahagiaan di akhirat.
Sebagai
hamba yang dianugerahi fitrah, kita memang perlu menyeimbangkan harapan. Tak
salah kita berdoa memohon suami yang sempurna, tetapi pada saat yang sama kita
juga harus melapangkan dada untuk menerima kekurangan. Kita boleh memancangkan
harapan, tapi kita juga perlu bertanya apa yang sudah kita persiapkan agar
layak mendampingi pasangan idaman.
Ini
bukan berarti kita tidak boleh mempunyai keinginan untuk memperbaiki kehidupan
kita, rumah tangga kita, serta pasangan kita. Akan tetapi, semakin besar
harapan kita dalam pernikahan semakin sulit kita mencapai kebahagiaan dan
kemesraan. Sebaliknya, semakin tinggi komitmen pernikahan kita (marital
commitment) akan semakin lebar jalan yang terbentang untuk memperoleh
kebahagian dan kepuasan.
Apa
bedanya harapan dan komitmen? Apa pula pengaruhnya terhadap keutuhan rumah
tangga kita? Harapan terhadap perkawinan menunjukkan apa yang ingin kita
dapatkan dalam perkawinan. Bila kita memiliki harapan perkawinan yang sangat
besar, sulit bagi kita untuk menerima pasangan apa adanya. Kita akan selalu
melihat dia penuh kekurangan. Jika kita menikah karena terpesona oleh
kecantikannya, kita akan segera kehilangan kemesraan sehingga tidak bisa
berlemah lembut begitu istri kita sudah tidak memikat lagi. Betapa cepat dan
berlalu dan betapa besar nestapa yang harus ditanggung.
Sementara
itu, komitmen perkawinan lebih menunjukkan rumah tangga seperti apa yang ingin
kita bangun. Kerelaan untuk menerima kekurangan, termasuk mengikhlaskan hati
menerima kekurangannya membuat kita lebih mudah mensyukuri perkawinan.
Disebabkan
oleh komitmen yang sangat kuat pada Allah dan Rasul-Nya istri Julaibib
mengikhlaskan hati untuk menikah dengan Julaibib. Yang baru semalam usia
pernikahan mereka Julaibib mengakhiri hayat di medan syahid. Ketika ibunya
merasa tidak rela dikarenakan rendahnya rendahnya martabat dan buruknya
perawakan fisik, ia meminta agar orang tuanya menerima pinangan itu kalau
memang Rasulullah saw. yang menentukan.
Orang
yang melapangkan hati untuk menenggang perbedaan, cenderung akan menemukan
banyak kesamaan. Perbedaan itu bukan lantas tidak ada, tetapi kesediaan untuk
menenggang perbedaan membuat kita mudah untuk melihat kesamaan dan kebaikannya.
Sebaliknya, kita akan merasa tidak nyaman berhubungan dengan orang lain, tidak
terkecuali pendamping hidup kita, bila kita sibuk mempersoalkan perbedaan.
Apalagi jika kita sering menyebut-nyebutnya, semakin terasa perbedaan itu dan
semakin tidak nyaman membina hubungan dengannya.
Semoga
Allah melindungi kita dari mempersoalkan perbedaan tanpa mengilmui. Semoga
Allah menjauhkan kita dari kesibukan yang membinasakan. Semoga Allah pula kelak
mengukuhkan ikatan perasaan di antara kita dengan kasih sayang, ketulusan, dan
kerelaan menenggang perbedaan. Sesungguhnya telah berlalu umat-umat sebelum
kita yang mereka binasa karena sibuk mempersoalkan perbedaan dan memperdebatkan
hal-hal yang menjadi rahasia Allah.
Nah,
jika mempersoalkan perbedaan, menyebut-nyebutnya, dan mengeluhkannya akan
membuat hubungan renggang, mengapa tidak melapangkan hati untuk menenggangnya?
Sesungguhnya menenggang perbedaan akan menumbuhkan kasih sayang dan kemesraan
yang hangat. Ada perasaan mengharukan yang sekaligus membahagiakan jika kita
memberikan untuknya apa yang ia sukai.
Untuk
itu, ada tiga hal yang perlu kita pahami agar ia mempercayai ketulusan kita.
Pertama, berikanlah perhatian yang hangat kepadanya. Besarnya perhatian membuat
dia merasa kita sayang dan kita cintai. Kedua terimalah ia tanpa syarat.
Penerimaan tanpa syarat menunjukkan bahwa kita mencintainya dengan tulus. Tidak
mungkin menerima dia apa adanya jika kita tidak memiliki ketulusan cinta dan
kebersihan niat. Ketiga, ungkapkanlah dengan kata-kata yang tepat.
Berkaitan
dengan ungkapan ini, ada sebuah tips yang ahsan yang disampaikan oleh ustaz
yang kini masih mengajar di jurusan Psikologi, UII, Yogyakarta ini. Yakni
terminologi “aku” dan kamu”. Saat kita mendapatkan bahwa masakan yang dibuat
pasangan kita keasinan misalnya, maka gunakanlah kata ganti “aku” . “Aku lebih
suka kalau sayurnya lebih manis, sayang” Tapi saat kita mendapatkan suatu kelebihan
pada diri pasangan, ia sukses menggoreng telor dadar misalnya (biasanya ia
menggoreng berkerak), maka kita gunakan kata ganti “kamu”. “Kamu memang pintar,
istriku”. Kita gunakan kata “aku” untuk sesuatu yang sifatnya negatif dan
“kamu” untuk sesuatu yang sifatnya positif. Untuk semua hal.
Tampaknya
memang benar, karena penggunaan kata ganti “kamu” untuk sebuah kesalahan yang
telah dilakukan oleh pasangan kita cenderung menyaran pada arti memvonis
alih-alih memosisikan pasangan kita sebagai tertuduh.
Dalam
perspektif pragmatik (linguistik), terminologi ini merupakan sebuah upaya
penggunaan maksim kesopanan dengan tetap mempertahankan maksim kerja sama.
Dengan tujuan agar tidak terjadi konflik pada keduanya.
Berangkat
dari petunjuk Allah ini tidak layak bagi kita untuk sibuk mempersoalkan
kekurangan ataupun kesalahan, apalagi kekurangan yang sulit dihilangkan,
sepanjang ia tidak melakukan kekejian yang nyata. Betapa pun banyak yang tidak
kita sukai darinya, kemesraan dengannya tak akan pudar jika kita mencoba untuk
berbaik sangka kepada Allah, barangkali di balik itu Allah berikan kebaikan
yang sangat besar. Sebaliknya, sesedikit apa pun keburukannya, bila kita sibuk
menyebut-nyebut dan mengingatnya, akan sangat memberatkan jiwa. Dampak
selanjutnya tidak hanya bagi hubungan suami istri, tetapi merembet pada
hubungan kita dan si kecil.
Terimalah
ia apa adanya. Terimalah kekurangannya dengan keikhlasan hati maka akan kita
temukan cinta yang bersemi indah. Sesudahnya berupaya memperbaiki dan bukan
menuntut untuk sempurna. Bukankah kita sendiri mempunyai kekurangan, mengapa
kita sibuk menuntut istri untuk sempurna? Ada amanat yang harus kita emban
ketika kita menikah. Ada ruang untuk saling berbagi. Ada ruang untuk saling
memperbaiki. Dan bukan saling mengeluhkan, alih-alih menyebut-nyebut
kekurangan.
Pahamilah
kekhilafannya agar ia merasa ringan dalam memperbaiki, meski bukan berarti kita
lantas membiarkan kesalahan. Berikanlah dukungan dan kehangatan kepadanya sehingga
ia berbesar hati menghadapi tantangan-tantangan yang ada di depan. Tunjukkanlah
bahwa kita memang sangat menghargainya, menerimanya dengan tulus, mau mengerti
dan bersemangat mendampinginya.
Dalam
buku ini Ustaz Fauzil memang tidak hanya membahas seputar keikhlasan menerima
pasangan kita apa adanya. Namun tampaknya beliau memandang masalah yang remeh
temeh ini dalam beberapa hal telah menjadi batu karang yang cukup terjal yang
kemudian melahirkan benih-benih konflik dan alih-alih perceraian.
Seperti
pada bagian akhir, beliau menjelaskan bagaimana upaya belajar itu tidak sebatas
menerima apa adanya, tetapi juga diikuti dengan belajar mendengar dengan
sepenuh hati. Karena tidak jarang kita bukan tidak paham jawaban yang
sesungguhnya diinginkan di balik pertanyaan pasangan.
Cukup
banyak hal sepele yang tampaknya kita anggap telah kita berikan tetapi ternyata
hal itu jauh meleset dari dugaan. Kita bukan mendengar pasangan tetapi
mendengar diri sendiri, kita bukan memberi solusi tapi malah menambah materi.
Kita bukan memberi jalan keluar alih-alih menghakimi. Kita bukan memberikan
jawaban, tetapi malah memberikan pertanyaan. Kita bukan meringankan tetapi
malah memberatkan. Benarkah?
Al
akhir, kekayaan itu ada di jiwa. Dan keping kekayaan itu dimulai dari ketulusan
menerima. Dengan kekayaan jiwa kita akan lebih mudah memberikan empati, lebih
mudah untuk memahami, lebih mudah untuk berbagi dan lebih mudah mendengar
dengan sepenuh hati.
Hari
ini, ketika kita bermimpi tentang sebuah pernikahan yang romantis sementara
ikatan batin di antara kita dan pasangan begitu rapuh, sudahkah kita berterima
kasih kepadanya? Sudahkah kita meminta maaf atas kesalahan kesalahan kita? Jika
belum, mulailah dengan meminta maaf atas kesalahan-kesalahan kita dan ungkapkan
sebuah panggilan sayang untuknya. Mulailah dari yang paling mudah, hatta yang
paling remeh atau kecil sekalipun. Mulailah dari yang paling kecil, demikian
Ustaz Aa’ berpesan. Little things mean a lot, demikian Ustaz Fauzil
menambahkan. Agar cinta bersemi dalam keluarga kita, agar cinta senantiasa
berbunga dalam kehidupan kita.
Masya
Allah.
Subhanallah.
Alhamdulillahirabbil
alamiin.
Wallahu
alam bisshawab.
(bagi
yang belum menikah tidak usah khawatir, jika engkau jaga risalah Allah adalah
sebuah keniscayaan jika Allah kan berikan yang terbaik buat anda, sekali lagi
terbaik dalam perspektif Allah, dan bukan perpektif kita)
No comments:
Post a Comment